Bagi masyarakat madura tradisi toron mempunyai arti yang sangat luas, didalamnya terdapat manifestasi social dan religi. Toron-nya orang-orang Madura biasnya dialaksanakan pada Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi. Namun pada saat Hari Raya Idul Adha, yang kemudian disebut Hari Raya Besar atau Hari Raya Raje (rajhe), toron umumnya dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah pedesaan, yang note bene mempunyai tradisi kekerabatan yang sangat kental dan kuat.
Kata toron mempunyai makna turun, namun tidak ada istilah sebaliknya onggha (naik). Karena toron bukan berararti turun dari atas kebawah. Toron merupakan istilah yang menajam sebagai bentuk kekentalan nilai dari dasar toron sendiri. Toron bisa berkembang menjadi toronan yaitu manifestasi dari silsilah keturunan dari tingkat keluarga, dengan pengertian, kembali ke pangkuan orang tua, atau dalam makna “turun temurun”, yang mempunyai arti peristiwa toron telah dilakukan secara turun temurun, yaitu mengikat tali silaturrahmi antar sanak keluarga dan kerabat pendahulunya
Bagi orang Madura toron tidak akan merendahkan martabat orang Madura. Dengan toron justru akan memgembalikan jatidiri dan kodratnya sebagai manusia Madura, karena toron sendiri, pada akhirnya menjadi simbol nilai kekerabatan orang Madura.
Meski ada toron tidak ada sitilah ongga (naik), karena ketika orang Madura kembali kedaerah rantauannya kata ongga tidak lagi digunakan, justru kerap disebut dengan istilah alajar (berlayar). Istilah toron merupakan peristiwa spontan dan tak seorangpun dapat mengubah kata toron, kecuali ada istilah lain yang dapat diterima oleh warga Madura.
Kearifan lokal menjadikan media dalam menyusun kebutuhan rohaniyah bagi keberlangsungan hidup masyarakat Madura, dimana ia bermukim. Selain agama (Islam) kearifan lokal menjadi pemicu bertahannya sebuah tradisi yang tetap bertahan dan menjadi pertahanan kekerabatan antar warga Madura. Kearifan lokal kerap diekspresiakan dalam bentuk saloka seperti :
Andhap asor tampaknya menjadi tolok ukur dalam menanamkan etika dan estetika, termasuk didalamnya tentang kesantunan, kesopanan, penghormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya sehingga menjadi raddin atena, bagus tengka gulina (cantik hatinya, baik tingkah lakunya). Untuk membangun kebersamaan dalam saloka diungkap bila cempa, palotan, bila kanca, taretan, (bila beras (kualitas) yaitu ketan, bila teman adalah saudara), hal disimbolkan sebagai bentuk untuk menjaga keutuhan persabatan perlu dijaga: Mon ba’na etobi’ sake’ ja’ nobi’an oreng (kalau kamu dicubit sakit, jangan nyubit orang lain)
Kehidupan yang harmoni menjadi penekanan kehidupan yang diharapkan dalam rampa’ naong beringin korong, serta ghu’tegghu’ sabbhu’ atau song-osong lombung, merupakan solidaritas sosial antar warga. Meski kekerasan kerap menjadi indentitas orang Madura seperti carok misal, dalam pandangan orang Madura memiliki tempat tersendiri, karena alasan-alasan tertentu menyangkut perasaan malo (malu) akibat harga diri diinjak-injak sehingga melahirkan carok.
Ango’ potea tolang etembang pote mata (lebih baik putih tulang daripada putih mata, lebih baik mati daripada menanggung malu)atau otang pesse nyerra pesse, otang rassa nyerra rassa, otang nyaba nyerra nyaba (hutang uang uang dibayar uang, hutang rasa dibayar rasa, hutang nyawa dibayar nyawa) yang barangkali menjadi pertimbangan mereka. Sebenarnya semua itu dapat diselesaikan dengan terhormat bila diawali dengan abhak-rembhak (berembuk, musyawarah) yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Madura.
Masyarakat Madura dikenal sebagai perantau, dan dari sinilah kemampuan dalam etos kerja diungkap seperti karkar kar colpe’, bantheng tolang seang are seang malem, sapa atane bakal atana’, sapa adagang bakal adaging, abharentheng, abanthal omba’ asapo’ angin, alako berra’ apello koneng dan sejenisnya menunjukkan etos kerja dalam usaha memenuhi kehidupan sehari-harinya, meski harus “kepada jadi kaki, kaki jadi kepala”.
Bila kerja banyak menghasilkan untung sehingga menjadi kaya, jalan lupa yang miskin atau tidak mampu, karena yang kaya berkewajiban menjadi tulang punggung yang miskin, mon sogi pasogha’ (bila sudah kaya harus perkasa), jangan sekali-kali raja guntorra tadha’ ojanna (besar bunyi halililantar, tapi tidak ada hujan)dan sebaliknya atau menjadi keras ta’ akerre (keras tapi tidak sakti).
Untuk itu dalam menjaga martabat keluarga atau kelompok jangan sampai jha’ methha’ buri’ etengnga lorong, (jangan menunjukkan bokong/dubur ditengah jalan) sebab sapenter-penterra nyimpen babathang paste e kaedhing bauna (sepintar-pintar nyembunyikan bangkai, pasti akan dirasaukan baunya).
Landasan kearifan lokal inilah, yang menjadikan masyarakat Madura sangat diikat dan terikat oleh nilai kekebaratan, sehingga dalam kondisi apapun toron merupakan bentuk “kewajiban” meski secara finalsial mereka mempunyai keterbatasan. Bahkan dalam kondisi tertentu, hasil upaya ekonomi dari hasil kerja kerasnya di tanah rantau, sebagaian disisakan dan disimpan untuk persiapan ketika mereka harus toron.
0 komentar:
Posting Komentar