Kamis, 21 Agustus 2014

Tari indang untuk dakwah




Disetiap daerah indonesia memiliki bermacam tarian,(badindin) adalah salah satunya. Tarian ini yang berasal dari Padang Pariaman tersebut merupakan salah satu etnik Minangkabau.
 

Sejarah Tari Indang
 

Tradisi Minangkabau banyak menyimpan berbagai kekayaan tradisi di Indonesia. Tari Indang atau disebut juga  Tari badindin adalah salah satunya. Sesungguhnya tari indang ini menyampaikan sesuatu pesan secara lisan yang juga disampaikan secara berkelompok sambil menari dan memainkan rebana kecil.
Kesenian ini pun bertujuan untuk kepentingan dakwah agama Islam. Itu lah sebabnya, Tari Indang ini sering dilihat sedang mengiringi salawat nabi Muhammad SAW atau hal-hal bertema keagamaan hususnya agama islam. Indang juga sangat berkembang dalam masyarakat tradisional Minangkabau yang berlokasi di wilayah kabupaten Padang Pariaman

Nasrul Azwar,seorang aktivis budaya yang tinggal di Padang, mengatakan bahwa sejarah Tari Indang adalah hasil campuran antara budaya Minangkabau dan peradaban Islam abad ke – 14. Peradaban tersebut dibawa oleh pedagang dan memperkenalkanya yang masuk ke Aceh melalui pesisir barat Pulau Sumatra dan selanjutnya meluas ke Ulakan-Pariaman.

Jika dibedakan lebih dalam, dalam Indang muncul jenis-jenis nyanyian maqam, iqa’at dan avaz serta penggunaan musik gambus. Maqam melukiskan tangga nada, struktur interval dan ambitus. Iqa’at memiliki pola ritmik pada musik islam. Adapun avaz ialah melodi yang bergerak bebas tapa irama dan diperkenalkan musik islam.

Biasanya pentas indang ini ditarikan oleh tujuh penari yang semuanya pun seorang pria. Ketujuh penari itu biasa dinamai ‘anak indang’. Mereka dipimpin seorang guru yang disebut tukang dzikir.  Tari indang merupakan manifestasi budaya mendidik lewat surau dan kentalnya pengaruh budaya Islam di Minangkabau

Rabu, 06 Agustus 2014

Tarian gandrum banyuwangi yang mengundang hasrat lelaki.



Gandrung Banyuwangi adalah kata yang berasal dari kata Gandrung, yang artinya tergila-gila atau cinta banget. Tarian ini juga masih satu aliran dengan tarian lain seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di Cilacap dan Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, yaitu meliputi seorang wanita penari professional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik atau gamelan.

Tarian ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan Gandrung, dan anda akan menjumpai patung penari Gandrung di berbagai sudut wilayah Banyuwangi, dan tak ayal lagi Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung.

Tari Gandrung ini sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya.

Asal-Usul Tari Gandrung 

Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan menurut laporan Scholte (1927) instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890-an, yang dimungkinkan karena ajaran Islam melarang segala bentuk travesty atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.

Sedangkan Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan Seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya Gandrung oleh wanita.

Tradisi Gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat.

Pada mulanya Gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung, yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian disamping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak oleh era globalisasi.

Namun menurut sumber yang berbeda, tari gandrung konon lahir pada zaman Kerajaan Airlangga di Jawa Timur. Dalam suasana bersukaria, para prajurit keraton ada yang menabuh gamelan, ada yang menari. Mereka menari secara bergantian setelah penari sebelumnya menyentuh penonton yang berdiri di tepi arena.

Perkembangan berikutnya, penari utamanya adalah perempuan (gandrung) yang pada awal penampilannya menyatakan tiang lanang (saya lelaki) kemudian menari sambil bernyanyi (basandaran atau bedede).

Tari ini terdiri atas tiga babak, yaitu babak bapangan-penari memperkenalkan diri kepada penonton-babak gandrangan di mana penari dengan kipas di tangan mengitari arena. Saat tertentu penari menyentuhkan kipasnya (tepekan) pada salah seorang penonton, yang serta-merta maju ke tengah arena untuk menari (pengibing).

Kemudian babak parianom, di mana penari menari sambil bernyanyi dan melayani sang pengibing. Tiap pengibing diberi waktu menari sekitar 10 menit dan menyerahkan uang ala kadarnya sebelum meninggalkan arena.

Pementasannya dilakukan malam hari, umumnya sebagai hiburan maupun meramaikan pesta khitanan, pernikahan, dan dalam perkembangannya untuk memperingati hari besar nasional. Instrumennya berupa pemugah, saron, galung, jegogan, rincik, petuk, terompong, gender, redep (rebab), dan suling.

Selama melayani pengibing, penari gandrung dilengkapi gelungan atau hiasan kepala yang bagiannya disebut gempolan, yang bagian ujungnya runcing. Ini adalah ’senjata’ penari untuk menghindari pengibing ’nakal’ yang berusaha menyentuh bagian sensitif atau mencoba mencium penari. Dengan menggerakkan kepalanya, penari memfungsikan gempolan tadi sehingga pengibing bisa tergores luka jika tidak segera menghindar.

Bagian-Bagian Gandrung 

Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian, yakni Jejer, Maju atau Ngibing dan Seblang Subuh . Jejer merupakan pembuka seluruh pertunjukan Gandrung, dimana pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.

Kemudian setelah acara jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Si Gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari Gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu.


Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repen (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh. Kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan lagi.

Seblang Subuh, Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan Gandrung Banyuwangi. Setelah selesai melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian Seblang Subuh. Dimulai dengan gerakan penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali. Sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya Seblang lokento. Justru suasana mistis terasa pada saat bagian Seblang Subuh ini, karena masih terhubung erat dengan ritual Seblang. Pada masa sekarang ini, bagian Seblang Subuh kerap dihilangkan, namun sebenarnya bagian ini yang menjadi pelengkap satu pertunjukan tari Gandrung.

Selasa, 05 Agustus 2014

Imlek manjadi budaya indonesia



Imlek atau Sin Tjia adalah suatu perayaan yang dilakukan oleh para petani di Cina dan biasanya terjadi pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan ini biasanya juga berkaitan dengan kegiatan para petani untuk menyambut musim semi.

Pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama biasanya perayaan ini dumulai. Acaranya  pun meliputi berbagai kegiatan seperti  sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh. Adapun tujuan dari persembahyangan ini adalah merupakan bentuk dari syukur dan doa harapan supayapada tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga. 

Segala bentuk persembahannya adalah berupa berbagai jenis makanan. Idealnya, pada setiap acara sembahyang Imlek disajikan minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12. Di Cina karena perayaan imlek itu sendiri bersal dari budaya petani , yang wajib adalah hidangan berupa mie panjang umur (siu mi) dan arak. Di Indonesia sendiri biasanya hidangan yang dipilih adalah  hidangan yang mempunyai arti “kemakmuran,” “panjang umur,” “keselamatan,” atau “kebahagiaan,” dan merupakan hidangan kesukaan para leluhur.

Seperti kue-kue yang dihidangkan biasanya lebih manis dari sebelumnya. bertujuan , kehidupan di tahun mendatang menjadi lebih manis dari tahun lalu.Selain itu dihidangkan juga kue lapis sebagai perlambang rezeki yang berlapis-lapis. kue lain yang wajib dihidangkan pada waktu persembahyangan menyambut datangnya tahun baru Imlek  adalah kue mangkok dan kue keranjang. Biasanya kue keranjang disusun ke atas dengan kue mangkok berwarna merah di bagian atasnya. Ini adalah sebagai tanda kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok.

Kemudian disusunlah kedua belas hidangan itu di meja sembahyang yang bagian depannya digantungi dengan kain khusus yang biasanya bergambar naga berwarna merah. lalu si pemilik berdoa memanggil para leluhurnya untuk menyantap hidangan yang disuguhkan. Dan ada juga makanan yang dihindari dan tidak dihidangkan, misalnya bubur. Bubur tidak dihidangkan karena makanan ini melambangkan kemiskinan.

Biasanya pada malam tahun baru orang-orang bersantap di rumah atau di restoran. habis selesai makan malam mereka bergadang semalam suntuk dengan pintu rumah dibuka lebar-lebar agar rezeki bisa masuk ke rumah dengan leluasa. Pada waktu ini disediakan camilan khas Imlek berupa kacang, kuaci, dan permen ( Cangcimen).

Makanan yang tidak boleh dilupakan pada waktu imlek adalah lapis legit, kue nastar, kue semprit, kue mawar, serta manisan kolang-kaling. Ditunjukan agar pikiran menjadi jernih, disediakan agar-agar yang dicetak seperti bintang sebagai simbol kehidupan yang terang. Tujuh hari setelah Imlek dilaksanakan persembahyangan kepada Sang Pencipta. Tujuannya adalah sujud kepada-Nya dan memohon kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru dimasuki.

Dilakukan sebuah perayaan yang disebut dengan Cap Go Meh lima belas hari setelah imlek. Masyarakat keturunan Cina di Semarang biasanya merayakannya dengan menghidangkan lontong Cap Go Meh yang terdiri dari lontong, opor ayam, lodeh terung, telur pindang, sate abing, dan sambal docang. Sementara itu warga Jakarta, menunya adalah lontong, sayur godog, telur pindang, dan bubuk kedelai. Pada waktu perayaan Imlek juga dirayakan berbagai macam keramaian yang menyuguhkan atraksi barongsai dan kembang api.

Sejarah Imlek di Indonesia 
Dalam sejarah imlek mencacat pada penanggalan Imlek dimulai tahun 2637 Sebelum Masehi pada masa pemerintahan Kaisar Oet Tee/Huang Ti (2698 – 2598 SM). Penanggalan Imlek sebutan asalnya adalah He Lek, yakni penanggalan Dinasti Ke/His (2205 – 1766 SM), dimana ahir musim dingin pertama kali ditetapkan  penetapan tahun baru Dinasti He,

Penetapan saat tahun baru memegang peranan yang amat penting pada jaman dahulu, karena penetapan itu menjadi pedoman bagi semua orang untuk mempersiapkan segala pekerjaan untuk tahun yang berjalan. Apa lagi untuk para petani akan mulai bercocok tanam pada saat akhir musim dingin dan memasuki musim semi. Penanggalan ini sangat cocok bagi petani karena perhitungan musim, peredaran matahari, dan uraian penjelasan mengenai iklim. Model penanggalan tersebut secara populer disebut Long Lek (penanggalan petani).

Seiring dengan perjalanan orang Cina ke Indonesia perjalanan panjang perayaan imlek di indonesia.adalah,  Dengan telah dibukanya kran Reformasi di tahun 1998, perayaan Imlek yang tadinya dilarang oleh Pemerintah, kini justru dijadikan hari libur nasional. Tahun baru Imlek yang telah dinyatakan hari libur nasional, memberikan kebebasan untuk dirayakan secara terbuka, bahkan menjadi bagian perayaan bagi publik.

Seakan akan budaya yang berasal dari daratan Cina telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Indonesia. Boleh dikatakan bahwa, kini Indonesia bagaikan ibarat taman bunga yang bertambah indah dan terus berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa pluralisme menjadi hidup yang diekspresikan dengan identitas budaya, sekaligus memberikan petunjuk bahwa perbedaan itu ternyata indah. (deni:berbagai sumber)