Minggu, 29 Juni 2014

Angklung kesenian indonesia


ANGKLUNG KESENIAN INDONESIA

berbagai ragam budaya di indonesia ini sangatlah banyak, salah satunya adalah alat musik tradisional yaitu Angklung. Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang berasal dari Jawa Barat. .  Alat musik ini terbuat dari bambu yang dimainkan dengan cara digoyangkan sehingga mengekuarkan bunyi yang bergetar dalam susunan  2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik yang besar maupun kecil. Angklung juga terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.






Berikut adalah jenis-jenis Angklung di Indonesia, yang setiap daerahnya mempunyai nama masing-masing, diantaranya:


  • Angklung Buncis dari daerah Priangan ,Bandung
  • Angklung Badud dari daerah Priangan Timur ,Ciamis 
  • Angklung Bungko dari Indramayu
  • Angklung Gubrag dari Bogor
  • Angklung Ciusul dari Banten
  • Angklung Dog dog Lojor dari Sukabumi
  • Angklung Badeng dari daerah Malangbong, Garut


Di Indonesia banyak sekolah-sekolah yang ekstrakulikulernya mengajarkan memainkan angklung, apapun
bentuk alasanya budaya indonesia harus kita pertahankan dengan cara apapun.

Indonesia adalah negri yang kaya akan ragam budaya, menjaganya adalah tugas terbesar untuk kita sebagai generasi penerus bangsa.

Gunung-gunug yang masih aktif di indonesia


Bencana yang melanda Indonesia semakin banyak setelah datang banjir bandang di Manado, dan baru baru ini gunung Kelud pun meletus
pada awal tahun 2014 ini sungguh menyita perhatian Indonesia, bagaimana tidak beberapa Gunung berapi yang berada di Indonesia telah aktif kembali. Setelah meletusnya gunung Sinabung di Sumatera Utara dan kemudian disusul dengan Gunung Kelud di Jawa Timur,  sepertinya beberapa Gunung berapi lainnya ingin ikut menunjukan diri. 

Berikut adalah daftar Gunung Berapi yang aktif di Indonesia :

1. Gunung Sinabung (Karo, Sumut)

2. Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta.

3. Gunung Kaba (Bengkulu)

4. Gunung Kerinci (Jambi)

5. Gunung Anak Krakatau (Lampung)

6. Gunung Papandayan (Garut, Jabar)

7. Gunung Slamet (Jateng)

8. Gunung Bromo (Jatim)

9. Gunung Semeru (Lumajang, Jatim)

10. Gunung Batur (Bali)

11. Gunung Rinjani (Lombok, NTB)

12. Gunung Sangeang Api (Bima, NTB)

13. Gunung Rokatenda (Flores, NTT)

14. Gunung Egon (Sikka, NTT)

15. Gunung Soputan (Minahasa Selatan, Sulut)

16. Gunung Lokon (Tomohon, Sulut)

17. Gunung Gamalama (Ternate, Maluku Utara)

18. Gunung Dukono (Halmahera Utara, Maluku Utara)

19. Gunung Karangetang (Sulut)

20. Gunung Ibu (Halmahera Barat, Maluku Utara)

21. Gunung Talang (Solok, Sumbar)

Jumat, 27 Juni 2014

Ondel-ondel maskot betawi


Tidak saatu orangpun yang tahu kapan Boneka raksasa punya masyarakat Betawi pertama kali muncul. tetapi, yang jelas boneka raksasa, dengan tinggi kisaran tiga meter itu diperkirakan sudah ada sejak zaman VOC atau bahkan sebelum VOC datang. boneka raksasa ini biasanya selalu tampil setiap acara ulang tahun Jakarta, atau acara perayaan nasional seperti pesta 17 Agustusan. Cara memainkan Ondel-ondel itu dengan diarak dan memainkannya pun juga tidak boleh sembarangan. menurut kepercayaan masyrakat dahulu ondel-Ondel mengandung unsure magis sehingga ada Ondel-ondel yang dikasih minum dan rokok, tak heran jika boneka raksasa ini menjadi symbol kota Jakarta.
Dahulu, masyarakat Betawi biasa menyebutnya Barongan, yang mungkin berasal dari kata Barengan artinya bareng-bareng atau sama-sama. Sebutan itu berasal dari kalimat ajakan dalam logat Betawi "Yok, kita ngarak bareng-bareng". Setelah Benyamin nyanyi Ondel-ondel, kemudian Barongan itu disebut Ondel-ondel.

Almarhum Benyamin, penyanyi legenda lagu-lagu Betawi itu tentu tadinya tidak bermaksud mengubah sebutan boneka besar Betawi itu. tetapi, tokoh dalam film Si Doel Anak Sekolahan yang bermain bersama Rano Karno itu, sangat berpengaruh, sehingga sebutan Ondel-ondel untuk boneka raksasa itu lebih populer ketimbang Barongan.

Bahan-bahan untuk membuat Ondel-ondel tersebut sangat sederhana. Biasanya wajahnya terbuat dari kayu, kerangka badan dari bambu yang diikat dengan kawat beton. Rambutnya dibuat dari ijuk atau juga lidih, sementara itu kembang-kembangnya dibuat dari kembang kertas minyak atau kertas kado yang mengandung plastic agar tahan air.

Aslinya kerangka badan Ondel-ondel terbuat dari rotan, supaya lebih kuat. tapi karena saat ini rotan sekarang mahal, maka diganti dengan bahan bambu. Dulu, dalam sebuah pertunjukan Ondel-ondel cuma dibikin satu pasang, laki-laki dan perempuan. Untuk mengetahuinya, Ondel-ondel laki wajahnya berwarna merah, Ondel-ondel perempuan wajahnya berwarna putih, dengan tampilan sederhana. Tapi dalam perkembangannya, bukan hanya gambar mata seperti mata manusia, lengkap dengan alis yang terbuat dari bulu, juga sesekali muncul bisa lima sampai 10 pasang. Dengan ukuran standar, tingginya sekita tiga meter.

Musik yang mengiringi arakkan Ondel-ondel juga memilki peranan penting. Alat tiup agak dominan, selain yang diiringi tabuhan kenong, kemong, dan gendang, sebagai penjaga ritme. Dengan musik itu, baru boneka besar tersebut bisa  joget. Yang menjadi perhatian adalah semua alat-alat musik itu harus dibuat sendiri. Gendang dari kayu, kenong dan kempul terbuat dari plat seng. sekarang, ada juga yang menambahkan instrumen gesek yang asalnya dari gambang kromong, yang bernama tekyan. Kecuali bahan, yang sekarang bisa dibikin dari fiberglass, pertunjukan Ondel-ondel tak banyak berubah dari dulu. Gaya tarianya hanya goyang kiri-kanan, lirik musiknya masih seperti yang dulu. Misalnya lagu Lenggang-lenggang Kangkung, Kicir-kicir, atau Srikuning. Aslinya, Ondel-ondel tidak ada menggunakan lagu, tapi hanya diiringi kendang pencak silat saja. Tapi dalamperkembangannya lagi, ada juga yang mengkombinasikannya dengan musik gambang kromong atau musik tanjidor.

tetapi, ciri khas Ondel-ondel tidak hanya dari penampilan bonekanya maupun musik pengiringnya saja. Tapi bagi mereka yang percaya, Ondel-ondel juga punya pengaruh magis. Sebelum mainkan, Ondel-ondel punya syarat-syarat. Selain ada yang khotbah dulu, juga diberi minum. Bisa diberi minum air kelapa hijau, air putih, sampai kopi manis maupun pait. Kadang-kadang diberi juga bahan-bahan makanan seperti telur, juga rokok. Cara memberi minuman Ondel-ondel dengan cara ditaruh kedalam kerangka tubuhnya. 

Konon dahulu Ondel-ondel biasanya meminta madat. tapi karena madat atau ganja dilarang sebagai gantinya Ondel-ondel diberi rokok lisong, dengan cara ditempelkan di mulutnya. Ondel-ondel juga bisa digunakan untuk menolak bala atau roh jahat. Konon wabah cacar itu hailang, setelah masyarakat mengarak Ondel-ondel mengelilingi kampung. 


dari bahan antara lain kayu dan bambu kira-kira biayanya perpasang, kisaran Rp.400 ribu-1 juta. tetapi sekarang, dibuat dari bahan fiberglass sehingga harganya jauh lebih mahal. Saat ini orang yang merawat budaya Ondel-ondel, sudah tidak banyak lagi. Kebanyakan hanya karena warisan turun-temurun. Yassin (45 th) misalnya, masih ingat kakeknya hidup dari pertunjukkan Ondel-ondel. Tapi Yassin sendiri, punya pekejaan lain, Ondel-ondel hanya menjadi kerja sampingan. "Karena hasilnya sudah tidak seberapa", katanya, "hanya karena tradisi, perlu dilestarikan". 

Begitu juga dengan Asmawi. Pembuat Ondel-0ndel yang sudah memulainya sejak 1942 itu, sedang berpikir untuk mendidik salah seorang anak- cucunya meneruskan merawat budaya Betawi ini. "Tapi belum ada yang kelihatan," katanya. 

Menurut Dinas Kebudayan DKI Jakarta, pembikin Ondel-ondel tinggal pak Asmawi itu. Grup memang masih ada, misalnya selain milik Yassin tadi, ada juga grup di Cijantung, Kemayoran, dan Cakung. Dan untuk melestarikan Ondel-ondel sering dilakukan festival, selain itu Puslitbang Dinas Kebudayan DKI Jakarta, memberi bantuan kueuangan. 

Mestinya, penataan pagelarannya perlu diperbaiki, agar bisa dikemas sebagai tontonan menarik. Tabuhan musiknya dirapihkan. "Bukan cuma gonjrang-gonjrang," katanya. Memang, dalam upacara tradisional,seperti kawinan atau sunatan, Ondel-ondel masih sering tampil di kalangan masyarakat Betawi. Bahkan, pernah masuk Istana, dan dipakai juga untuk menyambut tamu negara. Tapi bisakah kesenian rakyat Betawi ini tetap bertahan ?

Kamis, 26 Juni 2014

Musik Jazz Dari Betawi (Tanjidor)


Satu lagi kesenia music asal Betawi yang dipengaruhi oleh budaya asing yaitu tanjidor
tanjidor  adalah kesenian musik betawi yang dipakai dalam musik jalanan tradisional . perkiraan asal muasalnya Kata tanjidor berasal dari bahasa Portugis, yaitu tanger, yang memiliki arti alat-alat musik berdawai.
Tanjidor ini pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Portugis pada abad ke-19. , tanjidor juga banyak berkembang di daerah pinggiran Jakarta, seperti di Citeureup, Cibinong, Cileungsi, Jonggol, Depok, dan Parung.
Tanjidor dimainkan dengan beberapa alat musik, yaitu, alat musik yang tiup, seperti klarinet, piston, trombon, saksofon tenor dan bass. Selain itu, ada juga alat musik yang dimainkan dengan cara dipukul, seperti senar drum, tenor drum, bass drum, dan genderang atau tambur. Alat musik pelengkap yang digunakan pada kesenian tanjidor adalah ring bell dan biola.
Pemain tanjidor terdiri dari 7 atau lebih. Kesenian musik Betawi ini biasanya digunakan untuk mengantar pengantin, mengiringi pawai, malam tahun baru, perayaan Cap Go Meh, arak arakan dan sebagainya. sejak berabad-abad negara ini sudah didatangi beragam bangsa. Termasuk bangsa Portugis yang datang sebelum Belanda. Konon cerita Tanjidor ini dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa Eropa.
Bangsa di Eropa Selatan itu ikut memasukkan unsur keseniannya dalam bentuk musik tanjidor. , sehingga ada yang mengkategorikannya sebagai ”musik jazz Betawi”.

Mungkin generasi sekarang tidak banyak lagi mengenal musik tradisional yang satu ini. Padahal, sampai pertengahan 1950-an, tanjidor ‘mengamen’ dari kampung ke kampung, terutama untuk memeriahkan perayaan Lebaran, pergantian tahun, dan Imlek (tahun baru Cina).

Pada saat perayaan Imlek, hari-hari ngamen tanjidor jauh lebih lama. Pasalnya, Imlek dirayakan sampai Capgomeh atau hari ke-15 Imlek. Pengamen tanjidor berasal dari daerah pinggiran kota , yaitu Karawang, Bekasi, Cibinong, dan Tangerang. Saat ngamen mereka terpaksa menginap di Jakarta, meninggalkan keluarganya di kampung.

alat alat yang mereka bawa pun cukup berat, seperti terompet , klarinet dan tambur Turki, serta terompet besar. Yang menyedihkan, mereka ngamen dengan berjalan kaki tanpa memakai alas sepatu atau sandal.
.

Tanjidor Kini

Seiring dengan pergeseran zaman, sebagian besar alat musik yang masih digunakan hingga kini termasuk kategori instrumen yang sudah lama dan rusak. Barang bekas yang sudah pada  penyok-penyok ini pun masih bisa berbunyi. meskipun suaranya kadang-kadang fales.

karena terlalu tua, alat musik tersebut sudah ada yang tambal, dan ada pula yang diikat agar tidak berantakan. Tetapi semua itu tidak mengurangi semangat penabuhnya yang umumnya juga sudah pada lanjut usia.

pernah sekali, kantor Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, menyelenggarakan Festival Tanjidor beberapa waktu lalu di Anjungan DKI, Taman Mini Indonesia Indah. Namun pesertanya tidak sampai belasan, menandakan jenis musik ini mulai berkurang peminatnya. Menilik sosok perkumpulan musik tersebut hampir sebagian besar pemusiknya sudah  mulai tua dan renta. Kemungkinan penyelenggara ingin tahu sejauh manakah perkembangan musik ini dan siapa pendukungnya ? Tanjidor, masihkah berbunyi ?

Memang kalau dibandingkan dengan jenis kesenian Betawi lainnya seperti Musik Rebana, Kasidahan, hadroh ,Lenong, Tari Topeng Betawi dan sejenisnya, boleh dikatakan Tanjidor sudah ketingalan. Mat Sani, putra Betawi kelahiran Kramat Pulogundul, dibelakang bioskop Rivoli, Jakarta Pusat, mengatakan, “Anak cucu keturunan Betawi kagak pada mau ngopenin Tanjidor. Maunya pada ngedangdut melulu. Barangkali itu salah satunye yang bikin Tanjidor kagak mau cepat berkembang”, Tapi barangkali juga karena jaman udah banyak berubah, beginilah jadinya.

“Di kampung saya dulu, ada perkumpulan orkes Tanjidor, Lenong dan Ondel-Ondel Bang Rebo, di Gang Piin Kramat Pulo. Tapi sekarang mah dangdut aje yang digede-gedein”, tambahnya. “Tapi nggak tahulah, kemungkinan di wilayah lain masih banyak perkumpulan Tanjidor. Denger-denger sih Tanjidor masih berbunyi. Kebanyakan di pinggiran Jakarta, misalnya di Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, di wilayah Bogor. Lainnya di Tanggerang, dan Bekasi”. Katanya.

Sejak dulu memang, Tanjidor tidak banyak memberi janji sehingga pendukungnya dari tahun ke tahun kian menurun. Selain banyak yang sudah meninggal, pendukungnya sekarang sudah pada uzur. Untuk singgah menjadi seniman orkes Tanjidor memang harus punya bakat di bidang musik modern atau ketrampilan itulah yang membuat orang senang menekuni hobinya.

Dari dulu seniman Tanjidor tidak melulu mengandalkan hidup dari musik yang digeluti. Melainkan dari hasil bertani, buruh atau pedagang kecil-kecilan. Bermain musik hanya sebagai sambilan Selain menghibur diri untuk mencari kepuasan batin. Sebab lain kenapa Tanjidor tidak bisa melesat seperti jenis kesenian Betawi lainnya kemungkinan karena fungsi ekonmi Tanjidor lemah. Hidup orkes ini tergantung dari saweran dari penonton. Atau karena ditanggap untuk meramaikan hajatan, sunatan, kawinan dan sebagainya.

Senin, 23 Juni 2014

Beduk, sakralitas yang digugat

lukingindonesia.blogspot.com
Bedug merupakan instrumen musik tradisional yang telah digunakan sejak ribuan tahun lalu dengan fungsi sebagai alat komunikasi baik dalam kegiatan ritual keagamaan (khususnya agama islam) maupun politik.

Siapa yang tidak tahu bedug, instrumen musik yang terbuat dari kulit hewan yang sudah dikeringi yang diregangkan dengan batang kayu yang di lubangi ini memiliki tempat tersendiri bagi penganut agama tertentu.

Dalam konteks Budaya Timur kekinian, beduk cenderung dikaitkan dengan tradisi budaya Islam yang kental dengan menandakan waktu waktu tertentu. Jika pandangan ini ditarik ke dalam lingkup yang lebih mikro, semisal pada budaya Jawa, keberadaan beduk Jawa dikaitkan dengan islamisasi Jawa, yang mulai intensif dilakukan pada zaman Wali Songo pada sekitar abad XV-XVI Masehi. Artinya pada zaman Hindu-Buddha (abad V-XVI Masehi), terlebih lagi pada zaman Prasejarah, beduk belum berada di Jawa.

Namun ada juga sumber yang mengatakan bahwa bedug berasal dari budaya Cina dan India. pendapat tersebut diperkuat dengan banyaknya bedug-bedug yang dijadikan alat upacara di klenteng atau biara-biara di Cina. Ada juga manuskrip yang mengatakan bahwa bedug juga dipakai sebagai penanda kegiatan ritual di berbagaai daerah tertentu.

Sumber lain juga ada yang mengatakana bahwa bedug di bawa ke Jawa melalui seorang muslim Cina yang bernama Laksamana Cheng Hoo. Konon sewaktu Cheng Ho datang ke Semarang disambut baik oleh raja Semarang. Kemudian, ketika Cheng Ho pergi, raja semarang itu memberikan hadian kepada Cheng Ho, namun Cheng Ho hanya meminta bahwa dirinya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah, bedug kemudian menjadi bagian dari masjid, seperti di negara China, Korea dan Jepang, yang memposisikan bedug di kuil-kuil sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.

Alat Komunikasi

Fungsi arkhais dari beduk Jawa sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Dalam fungsi ini, bunyi tertentu manakala beduk ditabuh merupakan suatu penanda bunyi yang oleh masyarakat pemangkunya, yakni masyarakat Jawa masa Majapahit (abad XIV-XVI), dimaknai sebagai tanda untuk melakukan sesuatu, yaitu berkumpul di suatu tempat sebagai pernyataan siap untuk melakukan peperangan.

Fungsi suara beduk sebagai petanda bunyi itu ditegaskan kembali oleh laporan Cornelis de Houtman (akhir abad XVI), bahwa bunyinya menjadi tanda adanya ba-haya, atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau tengah malam. Fungsinya sebagai tanda tentang adanya bahaya ini dapat dibandingkan dengan bunyi kentongan (kul-kul) ketika ditabuh bertalu-talu dalam tempo cepat (titir).

Sedangkan fungsinya sebagai penanda waktu (pagi hari, tegah hari dan te-ngah malam) bisa dibadingkan dengan istilah dalam bahasa Jawa Kuna “tabuh”, yang juga menujukan kepada petanda waktu. Dalam kaitan dengan petanda waktu, secara khusus kata “beduk” sering digunakan untuk menandai waktu tepat pada tengah hari hingga sekitar pulul 13 WIB.

Thomas Stamford Raffles, yang pada tahun 1817 menulis “ The History Of Java”, antara lain membicarakan dan membhas mengenai pembangian waktu pada siang hari, yang terdiri dari: esok, teng’ang’i, beduk, lingsir kulon, dan asar. Fungsi sebagai petanda waktu juga diemban oleh teg-teg. Kode bunyi dari beduk umumnya berukuran besar ini oleh masyarakat masa Majapahit juga dimaknai sebagai pemberi tanda, atau petanda bunyi (time signal).

Pernah Digugat

Pada zaman orde baru, peran atau keberadaan bedug yang berada di masjid, surau atau langgar sempat digugat dan dibersihkan. Terjadinya pembersihan bedug di masjid, karena bedug dianggap bukan termasuk ciri keislaman, kemudian bedug diganti dengan pengeras suara, yang kebanyakan sudah dipakai sekarang ini.

Namun, menurut sebagian besar orang menilai penggantian bedug dengan pengeras suara justru dapat lebih menyuarakan isi khotbah para imam lebih keras dan bisa terdengar lebih luas.
(  berbagai sumber)

Minggu, 22 Juni 2014

Gambang Kromong, Orkestra Dari Betawi

lukingindonesia.blogspot.com

Gambang Kromong, Orkestra Dari Betawi - Sebutan Gambang Kromong di ambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh ’pencon’).

Orkes Gambang Kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Cina. Secara fisik unsur Cina tampak pada alat-alat musik gesek yaitu Tehyan, Kongahyan dan Sukong, sedangkan alat musik lainnya yaitu gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong merupakan unsur pribumi.

Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendarahaan lagu-lagunya. Disamping lagu-lagu yang menunjukan sifat pribumi seperti Jali-jali, Surilang, Persi, Balo-balo, Lenggang-lenggang Kangkung, Onde-onde, Gelatik Ngunguk dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Cina, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya seperti Kong Jilok, Sipatmo, Phe Pantaw, Citnosa, Macuntay, Gutaypan dan sebagainya.

Orkes Gambang yang semula digemari oleh kaum peranakan Cina saja, lama-kelamaan di gemari pula oleh golongan pribumi, karena berlangsugnya proses pembauran. Bila pada masa lalu popularitas orkes Gambang Kromong umumnya hanya terbatas dalam lingkungan masyarakat keturunan Cina dan masyarakat yang langsung atau tidak langsung banyak menyerap pengaruh kebudayaannya, pada perkembangan kemudian, penggemarnya semakin luas, lebih-lebih pada tahun tujuh puluhan.

Bebagai faktor yang menyebabkan diantaranya karena mulai banyak seniman musik pop yang ikut terjun berkecimpung didalamnya seperti Benyamin S pada masa hidupnya, Ida Royani, Lilis Suryani, Herlina Effendi dan lain-lain.

Gambang Kromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah budaya Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta sendiri maupun didaerah sekitarnya, lebih banyak penduduk keturunan Cina dalam masyarakat Betawi setempat, lebih banyak pula terdapat grup-grup orkes Gambang Kromong. Di Jakarta Utara dan Jakarta Barat misalnya, lebih banyak jumlah grup Gambang Kromong dibandingkan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Dewasa ini terdapat istilah “Gambang Kromong asli” dan “Gambang Kromong kombinasi”.

Sebagaimana tampak pada namanya “Gambang Kromong kombinasi”, ialah orkes Gambang Kromong yang alat-alatnya ditambah atau dikombinasikan dengan alat-alat musik Barat modern yang kadang-kadang elektronis, seperti gitar melodis, bass, gitar ,organ, saxopone, drum dan sebagainya. Disini berlangsung perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonis tanpa terasa mengganggu.

Dengan penambahan alat musik itu warna suara gambang kromong masih tetap terdengar, serta masuknya lagu-lagu pop berlangsung secara wajar, tidak dipaksakan. Terutama bagi generasi muda tampaknya gambang kromong kombinasi lebih komunikatif, sekalipun kadang-kadang ada kecenderungan tersisihnya suara alat-alat gambang kromong asli oleh alat musik elektronis yang semakin dominan.

Rombongan-rombongan gambang keromong asli pada umumnya dimiliki dan dipimpin oleh golongan pribumi yang ekonomi lemah, seperti rombongan “Setia Hati” pimpinan Amsar di Bendungan Jago, rombongan “Putra Cijantung” pimpinan Marta (dahulu dipimpin oleh Nyaat yang sekarang telah meninggal), rombongan “Garuda Putih” pimpinan Samad Modo di Pekayon, Gandaria. Sedang gambang kromong kombinasi pada umumnya dimiliki oleh golongan yang ekonomi relatif`` kuat, seperti rombongan “Naga Mas” pimpinan Bhu Thian Hay (almarhum), “Naga mustika” pimpinan Suryahanda, “Selendang delima” pimpinan Liem Thian Po dan sebagainya. (budayajakarta.com)